Sholat Tanpa Mukena
Shalat Perempuan Tanpa Mukena
Salah satu syarat yang harus terpenuhi ketika shalat adalah menutupi aurat. Untuk menutupi aurat, banyak cara bisa ditempuh. Di Indonesia, mayoritas perempuan mengenakan mukena (rukuh) ketika shalat. Namun tidak menutup kemungkinan juga ada yang tidak mengenakan mukena. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukum shalat perempuan tanpa mukena?
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan baku mengenai jenis pakaian yang dikenakan perempuan saat shalat. Asalkan pakaian tersebut dapat menutupi aurat sesuai standar yang dijelaskan ulama, maka boleh dan sah.
Standar penutup aurat adalah setiap hal yang dapat menutupi warna kulit. Sedangkan aurat yang wajib ditutupi perempuan ketika shalat menurut mazhab Syafi’i adalah seluruh anggota tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan hingga kedua pergelangan.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menjelaskan:
وحرة ولو صغيرة عليها ستر جميع بدنها وجوبا لا الوجه والكف ظهرا وبطنا إلى الكوعين...إلى أن قال...بما لا يصف اللون للبشرة للرائى بمجلس التخاطب وإن وصف الحجم...إلى أن قال... أما مالا يمنع وصف اللون كزجاج فلا يكفى
“Dan wanita merdeka meski anak kecil, wajib menutupi seluruh badannya selain wajah dan telapak tangan, baik bagian luar ataupun dalam, sampai dua pergelangan tangan. Kewajiban menutupi tersebut dengan penutup yang tidak menampakan wana kulit kepada orang yang melihatnya dalam majlis perbincangan, meski dapat memperlihatkan lekuk tubuh. Adapun penutup yang tidak dapat mencegah terlihatnya warna kulit, seperti kaca, maka tidak cukup.” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Ghayah al-Bayan, hal. 150)
Kewajiban menutupi aurat berlaku untuk arah atas dan seluruh arah samping, bukan arah bawah. Bagi perempuan, yang dimaksud arah atas adalah bagian tubuh di atas kepala, kedua pundak dan seluruh sisi wajahnya. Sedangkan bagian bawah adalah tempat di bawah kedua mata kaki. Sementara bagian samping adalah selain hal tersebut.
Wanita wajib menutupi auratnya dari arah atas dan samping, tidak wajib untuk arah bawah. Dengan demikian, bila semisal bagian leher perempuan terlihat dari bawah kerudung, mungkin karena tersibak dari gamis saat ruku’, maka batal shalatnya, sebab terlihatnya aurat bukan dari arah bawah. Dalam kasus tersebut, aurat tidak terlihat dari arah bawah, namun dari arah samping, sehingga membatalkan.
Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi al-Masyhur menegaskan:
وفي حق المرأة بأعلاه ما فوق رأسها ومنكبيها وسائر جوانب وجهها ، وبأسفله ما تحت قدميها ، وبجوانبه ما بين ذلك ، وحينئذ لو رؤي صدر المرأة من تحت الخمار لتجافيه عن القميص عند نحو الركوع ، أو اتسع الكمّ بحيث ترى منه العورة بطلت صلاتها
“Dan yang dikehendaki arah atas bagi perempuan adalah bagian di atas kepala, kedua pundak dan seluruh sisi wajahnya. Dan yang dikehendaki arah bawah adalah bagian yang berada di bawah kedua telapak kakinya. Sementara arah samping adalah bagian selain yang telah disebutkan. Dengan demikian, bila dada perempuan terlihat dari bawah kerudung, karena tersibak dari gamis saat ruku’, atau lengan baju tampak longgar sehingga dari lengan tersebut terlihat aurat, maka batal shalatnya.”
إلى أن قال وفي الجمل وقولهم : ولا يجب الستر من أسفل أي ولو لامرأة فلو رؤيت من ذيله في نحو قيام أو سجود لا لتقلص ثوبه بل لجمع ذيله على عقبيه لم يضر
“Dalam kitab al-Jamal disebutkan, ucapan ulama, tidak wajib menutup aurat dari arah bawah, maksudnya, meski bagi perempuan. Maka, bila aurat terlihat dari ekor bajunya saat ruku’ atau sujud, bukan karena menyusutnya pakaian, akan tetapi karena menempel dengan kedua tumitnya, maka tidak bermasalah.” (Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 67-68)
Khusus untuk bagian telapak kaki, tidak boleh terlihat meski dari arah bawah. Namun, bukan berarti perempuan wajib memakai kaos kaki, karena untuk menutupi bagian telapak kaki, cukup tertutupi dengan lantai.
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
ويجب الستر من الأعلى والجوانب لا من الأسفل
“Wajib menutupi aurat dari arah atas dan samping, tidak wajib dari arah bawah.”
ـ (قوله: ويجب الستر من الاعلى إلخ) هذا في غير القدم بالنسبة للحرة، أما هي فيجب سترها حتى من أسفلها، إذ باطن القدم عورة كما علمت.نعم، يكفي ستره بالارض لكونها تمنع إدراكه، فلا تكلف لبس نحو خف.فلو رؤي في حال سجودها، أو وقفت على نحو سرير مخرق بحيث يظهر من أخراقه، ضر ذلك، فتنبه له
“Ucapan Syekh Zainuddin, wajib menutup aurat dari arah atas dan seterusnya, hal ini dalam selain telapak kaki nisbatnya perempuan merdeka. Adapun telapak kakinya wanita merdeka, wajib menutupinya hingga dari arah bawah, sebab bagian dalam telapak kaki adalah aurat seperti yang kamu ketahui. Benar demikian, namun cukup menutupi bagian dalam telapak kaki dengan lantai, sebab dapat mencegahnya untuk dilihat, sehingga perempuan tidak diwajibkan memakai semisal muzah (alas kaki). Jika bagian telapak kaki terlihat saat sujud atau perempuan shalat di atas ranjang yang robek, dengan sekira bagian telapak kaki terlihat dari robekannya, maka hal demikian bermasalah. Maka waspadalah akan hal tersebut.”
(Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 134).
Melihat beberapa referensi di atas, dapat dipahami bahwa shalat tanpa mukena sebenarnya tidak masalah asalkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana penjelasan di atas. Namun, dalam praktiknya sulit. Sebab untuk menutupi seluruh auratnya, perempuan membutuhkan beberapa jenis penutup, misalkan di bagian kepala sendiri, bagian leher sendiri, belum lagi di bagian kaki dan bagian lainnya. Berbeda dengan memakai mukena, yang memang didesain khusus untuk shalat, akan tampak lebih mudah dan simpel. Demikian penjelasan ini kami sampaikan, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
(Ustadz M. Mubasysyarum Bih)