Menambahkan Nama Suami Di Belakang Nama Istri, Ini Hukumnya...,
Karena cinta dan berjuta alasan lain, tidak sedikit yang menambahkan nama sang suami di belakang namanya sendiri. Dalam Islam, bagaimana hukumnya? |
Dalam tradisi Indonesia, sangat lumrah di telinga kita mendengar nama perempuan yang akhirnya ditambahkan nama seorang laki-laki. Biasanya, nama orang laki-laki yang ditambahkan di belakang nama si perempuan tersebut adalah nama ayahnya atau nama suaminya.
Lalu bagaimana dengan pendapat beberapa orang (ustaz/ustazah) yang mengharamkan penambahan nama suami pada nama istri yang berlandaskan pada hadits Muslim yang diriwayatkan oleh Abi Dzar? “Orang yang mengaku keturunan dari orang yang bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia tahu, maka dia telah kafir.”
Bahkan dalam riwayat Bukhari dan Abu Dawud dijelaskan sebagai berikut: “Siapa yang mengaku keturunan dari orang yang bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia tahu, maka haram surga baginya.”
Memahami dua hadits di atas tidak lantas menelan mentah-mentah bentuk teksnya. Sehingga dianggap bahwa semua orang yang menambahkan nama orang lain di belakang namanya termasuk dalam kategori dua hadis di atas.
KH Ali Mustafa Yaqub mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa dalam memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui illatnya termasuk dalam memahami hadits di atas. Dengan demikian kita tidak serta merta mengharamkan seseorang yang menambahkan nama suaminya setelah namanya.
Ibnu Hajar al-Asqalani ketika memberi penjelasan pada hadits di atas mengatakan, yang dimaksud oleh hadits riwayat Bukhari di atas (dan hadits riwayat Muslim) sebenarnya bukan untuk semua orang yang menambahkan nama orang lain setelah namanya, namun lebih spesifik kepada orang yang mengakui orang lain sebagai ayahnya. Dengan demikian yang dimaksud dalam hal ini adalah menasabkan dirinya dengan orang yang bukan ayah kandungnya.
Hal itu dilarang karena seolah-olah dia mengatakan bahwa “Allah mencipatakanku dari air maninya seseorang”. Dan hal seperti ini secara otomatis orang tersebut telah berbohong atas nama Allah.
Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Hajar yang mengutip pendapat Ibnu Bathal. Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah tidak semua orang yang namanya terkenal dengan tambahan nama orang lain (seperti menambahkan nama suami setelah nama istri) melainkan hadits tersebut ingin mengomentari budaya Jahiliyah yang mengadopsi anak dan anak tersebut dinasabkan kepada orang yang mengadopsinya. Sehingga seolah-olah orang yang mengadopsi tersebut adalah ayahnya yang sesungguhnya.
Bahkan budaya Jahiliyah tersebut pernah menimpa Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu nabi memiliki budak yang dimerdekakan bernama Zaid. Karena saking lekatnya Zaid dengan nabi, maka Zaid dipanggil Zaid bin Muhammad. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar berikut ini: “Sesungguhnya kami selalu memanggil Zaid, budak yang dimerdekakan Rasulullah dengan panggilan Zaid bin Muhammad sampai turunlah ayat ‘Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan nama bapak-bapak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah,’ (Surat Al-Ahzab ayat 5). Nabi pun berkata, ‘Kamu adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.’”
Namun menurut Ibnu Hajar, masih ada beberapa orang yang dipanggil dengan nama bapak angkatnya seperti Miqdad bin al-Aswad. Padahal nama bapak kandungnya adalah Amr bin Tsa’labah. Dia dinisbatkan kepada al-Aswad bin Abdul Yaghuts az-Zuhri karena al-Aswad adalah bapak angkatnya. Menurut Ibnu Hajar, hal ini diperbolehkan karena bukan untuk tujuan nasab tapi untuk ta’rif.
Sebagaimana kasus Miqdad, sebenarnya ada berbagai alasan mengapa perempuan harus menambahkan nama suami di belakang namanya. Alasan tersebut adalah li ta’rif, yaitu untuk lebih mengetahui secara spesifik si pemilik nama itu. Bisa jadi ada beberapa nama perempuan yang sama. Ketika ditambahkan nama suaminya, maka akan lebih jelas dan spesifik lagi siapa nama yang dimaksud.
Dari beberapa penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya menambahkan nama suami setelah nama istri adalah diperbolehkan karena bukan bertujuan untuk li nasab, melainkan hanya untuk ta’rif. Wallahu a’lam.