Hukum Memakan Kepiting Menurut Ulama 4 Madzhab.
Mengupas Hukum Memakan Kepiting: Panduan Menuju Hidangan Halal
Kepiting, dengan cangkangnya yang keras dan dagingnya yang gurih, menjadi sajian lezat di banyak meja makan. Di Indonesia, kepiting bahkan telah menjelma menjadi salah satu hidangan favorit. Namun, di balik kelezatannya, pertanyaan tentang hukum memakan kepiting dalam Islam seringkali muncul.
Dalam dunia fikih, kepiting dikenal dengan sebutan "sarothon". Pandangan ulama mengenai kehalalannya beragam, tergantung pada mazhab yang mereka anut. Artikel ini akan mengulas tuntas hukum memakan kepiting menurut empat mazhab besar dalam Islam, yaitu Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hanbali, serta mengkaitkannya dengan beberapa ayat Al-Qur'an yang relevan.
Mazhab Syafii dan Hanafi: Keharaman Kepiting
Menurut mazhab Syafii dan Hanafi, memakan kepiting hukumnya haram. Alasannya adalah karena kepiting termasuk dalam kategori hewan barma-i, yaitu hewan yang mampu hidup di dua alam, baik di darat maupun di laut. Contoh hewan barma-i lainnya adalah buaya, katak, dan kura-kura.
Dalil yang digunakan oleh ulama Syafii dan Hanafi adalah Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan pada kalian memakan hewan barma-i." (HR. Ahmad).
Pendapat ini juga didukung oleh kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah yang menyebutkan:
"وَيَحْرُمُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ الْحَيَوَانُ الْبَرْمَائِيُّ أَيِ الَّذِي يُمْكِنُ عَيْشُهُ دَائِمًا فِي كُلٍّ مِنَ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نَظِيرٌ فِي الْبَرِّ مَأْكُولٌ."
(Artinya: "Haram bagi Syafiiyyah untuk memakan hewan barma-i, yaitu hewan yang dapat hidup di darat dan laut secara permanen jika tidak ada hewan sejenis yang dapat dimakan di darat.")
Mazhab Hanbali: Kehalalan dengan Syarat Penyembelihan
Berbeda dengan mazhab Syafii dan Hanafi, mazhab Hanbali menganggap kepiting halal untuk dimakan, namun dengan syarat disembelih. Proses penyembelihan ini dilakukan dengan cara melukai bagian tubuh kepiting hingga mati.
Pandangan ini tertuang dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah:
"وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ فِي الْحَيَوَانِ الْبَرْمَائِيِّ، كَكَلْبِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالسَّرَطَانِ إِلَى أَنَّهُ إِنَّمَا يَحِل بِالتَّذْكِيَةِ.. وَقَدْ قَالُوا: إِنَّ كَيْفِيَّةَ ذَكَاةِ السَّرَطَانِ أَنْ يُفْعَل بِهِ مَا يُمِيتُهُ، بِأَنْ يُعْقَرَ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ كَانَ مِنْ بَدَنِهِ."
(Artinya: "Hanabilah berpendapat mengenai hewan barma-i, seperti anjing laut, kura-kura, dan kepiting, bahwa hukumnya halal dengan syarat disembelih. Mereka mengatakan bahwa cara menyembelih kepiting adalah mematikannya dengan melukai salah satu bagian tubuhnya.")
Mazhab Maliki: Kehalalan tanpa Syarat Penyembelihan
Sama seperti Hanabilah, mazhab Maliki juga memperbolehkan memakan kepiting, tetapi tanpa syarat penyembelihan.
Kitab Al-Kafi menyebutkan: "وَصَيْدُ البَحْرِ كُلُّهُ حَلَالٌ إِلَّا أَنَّ مَالِكاً يَكْرَهُ خِنْزِيْرَ الْمَاءِ لِاسْمِهِ وَكَذَلِكَ كَلْبُ الْمَاءِ عِنْدَهُ وَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ السَّرَطَانِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالضِّفْدَعِ."
(Artinya: "Semua hasil buruan laut halal, kecuali Imam Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting, penyu, dan katak.")
Mencari Kejelasan dalam Ayat Al-Qur'an
Ayat Al-Qur'an yang sering dikaitkan dengan kehalalan makanan laut adalah QS. Al-Maidah ayat 5:
Ayat ini secara umum menyatakan kehalalan hewan laut, tetapi terdapat beberapa pengecualian, seperti bangkai, darah, dan hewan yang mati tercekik. Kepiting, sebagai hewan laut, termasuk dalam kategori yang diperbolehkan dalam ayat ini.
Kesimpulan
Hukum memakan kepiting dalam Islam masih menjadi perdebatan di antara para ulama. Mazhab Syafii dan Hanafi mengharamkan kepiting karena termasuk hewan barma-i, sementara Mazhab Hanbali dan Maliki memperbolehkannya, dengan dan tanpa syarat penyembelihan.
Bagi umat muslim yang ingin mendapatkan kepastian, penting untuk berkonsultasi dengan ulama yang kredibel agar mendapatkan jawaban yang tepat sesuai dengan keyakinannya.
Catatan: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai hukum memakan kepiting dalam Islam. Penulis tidak bermaksud memberikan fatwa atau pernyataan keagamaan.