METAFORMOSIS TA'ARUF
Asssalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Perkawinan merupakan pertalian dan perjalinan dua insan yang di ikat dalam sebuah perjanjian (mitsaqan ghalidzan). Disetiap agama, perkawinan dilaksanakan dengan penuh hikmat dan di sertai dengan berbagai syarat dan rukun yang menjadi keniscayaan bagi siapapun yang akan menjalani.
Di antara penyerta awal yang biasa dilakukan dalam perkawinan adalah penentuan akad yang menjadi syarat utama keabsahan sebuah perkawinan (Abdillah, 2018; Ajrin, 2017). Melalui akad, seorang laki-laki yang akan menikahi calon mempelai perempuan akan dihadapkan dengan skema perjanjian yang tidak hanya diatur dalam agama, akan tetapi beberapa aspek perjanjian yang diatur oleh sistem perundang-undangan menjadi sebuah konsekuensi logis pula yang harus dipatuhi oleh kedua mempelai (Lee, 1990).
Akan tetapi, demikian, sebelum perkawinan dilangsungkan, tentu seorang laki-laki maupun perempuan perlu menempuh satu fase paling awal, yaitu saling mengenali. Secara sosiologis, mengenali atau ta‟aruf sebagaimana disitir dalam al-Qur`an (al-Hujurat: 13) merupakan sarana untuk saling mengetahui dan memahami berbagai latar belakang yang dimiliki oleh masing-masing calon pasangan. Baik yang berkaitan dengan latar kepribadian, keluarga, budaya, sosial, pendidikan, dan semacamnya. Lalu, setelah masing-masing calon pasangan bisa mengetahui berbagai rekam jejak yang dimiliki keduanya, maka calon pasangan bisa melanjutkan ke tahapan yang lebih serius yaitu peminangan (khitbah) (Hamdi, 2017).
Dalam hal ini, ta‟aruf mempunyai peranan penting untuk meneguhkan keyakinan atas pasangan yang dipilih. Setidaknya, melalui ta‟aruf setiap pasangan bisa melakukan kesepahaman atau perjanjian yang harus disepakati bersama ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Bahkan, ta‟aruf menjadi sarana preventif atau pencegah terhadap berbagai peristiwa perkawinan yang terkadang menimbulkan persoalan yang berdampak pada salah satu pasangan maupun terhadap anaknya (Akbar, 2015).
Selain itu, ta‟aruf juga menjadi sebuah assessment awal untuk mempersempit ruang-ruang penyesalan setelah menikah dan meneguhkan kesadaran diri untuk menerima pasangan apa adanya serta bersikap arif dalam menyikapi perkawinan dengan cara yang elegan (Akbar, 2015). Sebab, dalam konsep ta‟aruf, sebagaimana dikenal dalam tradisi masyarakat Islam, kedua calon pasangan suami istri ditempatkan pada situasi untuk lebih mengetahui, memahami, mendalami satu sama lain.
Dalam kaitan ini, praktik ta‟aruf yang selama ini berkembang di masyarakat muslim Indonesia adalah, pihak yang tertarik terlebih dahulu menanyakan informasi tentang orang yang ia suka kepada teman atau saudaranya, lalu berlanjut ke pertemuan keduanya dengan didampingi mahram dan jika saling tertarik satu sama lain, proses berlanjut ke tahap peminangan dan pernikahan. Jika melihat pada praktik ketika masa Rasulullah s.a.w., terdapat sebuah mekanisme dalam ta‟aruf yang disebut dengan nazhar. Nazhar atau pertemuan antar kedua belah pihak merupakan aktivitas yang diperuntukkan agar pengenalan pra nikah dapat dilakukan secara langsung. Nazhar yang dalam bahasa arab berarti “melihat”, dilaksanakan secara tekstual seperti makna tektualnya, yaitu dengan bertemu secara fisik dengan calon pasangannya. Konsep nazhar inilah yang kemudian diadaptasi ke dalam konsep ta‟aruf masyarakat muslim di Indonesia (Nisa, 2011).
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman yang disertasi dengan kecanggihan teknologi informasi, pola ta‟aruf yang selama ini berlangsung secara konvensional dan mengandalkan pertemuan beralih menjadi berbasis online. Dalam beberapa tahun terakhir, mulai bermunculan media penyedia jasa ta‟aruf berbasis online di Indonesia, seperti grup-grup Facebook ataupun WA. Ada juga yang berbasis web( Situs) Ta‟aruf Online Indonesia (TOI), Mawaddahindonesia, Ayota‟aruf, Rumahta‟aruf serta TAARUF_Q dan masih banyak lagi.
Selain berbentuk website, platform ta‟aruf juga berwujud aplikasi telepon pintar berbasis android maupun IOS (iPhone Operating System), seperti Ta‟aruf Online Indonesia (TOI) dan Ta‟aruf.id. Di media sosial lainnya juga bertebaran jasa taaruf lainnya. Dimana sebagaian besar sarana Taaruf tadi berbayar, namun juga ada yang gratis.
Demikian menarik tema Taaruf yang terus mengalami metaformosis dari jaman dulu sampai sekarang, yang semula manualiti menjadi digitalisasi, yang pertama sebuah umumitas (perkenalan artian umum) menjadi eklusifitas (perkenalan suatu tahap pranikah).