Hukum VCS atau Video Call Seks Dalam Islam.
Suami istri yang harus menjalani hubungan jarak jauh karena keterpaksaan oleh sebuah pekerjaan. Kadang membuat mereka gundah dan bingung, karena bagaimanapun mereka berdua memiliki syahwat dan saling membutuhkan. Sehingga kadang satu-satunya jalan adalah VCS(Vidio call sex) untuk mereka saling memenuhi kebutuhan batinnya.
Namun di tengah-tengah masyarakat sendiri masih banyak suami-istri belum faham hukum kegiatan seperti itu. Lantas bagaimana hukumnya hubungan seksual antara suami dan istri dengan metoda VCS.
Long Distance Relationship (LDR) dengan metode Video Call Sex (VCS), atau dalam islam istilahnya Al-istimna' Bi Yadin-Nafsi apakah juga tetap tidak diperkenankan?.
Sebelum menyimpulkan jawab dari pertanyaan tersebut, admin mulai dulu membahas pengertian yang harus dipahamai terlebih dahulu. Apa itu istimna'??.
1. Pengertian Istimna’
Secara syara’, istimta’ adalah sebagai berikut:
Artinya: Istimna’ merupakan mashdar dari lafadz Istamna-yastamny. Maksudnya usaha untuk mengeluarkan mani (ejakulasi). Sedangkan menurut pengertian Istilah, Istimna’ mengeluarkan mani tanpa melalui jima’ (hubungan seks suami istri). Hukumnya menjadi haram, seperti mengeluarkan mani dengan tangannya sendiri dengan tujuan meredam syahwat, atau hukumnya tidak diharamkan seperti mengeluarkan mani menggunakan tangan istrinya.”
2. Batasan Istimna’
Artinya: Istimna’ lebih khusus daripada onani dan ejakulasi, karena dapat terjadi dalam keadaan tidak terjaga dan tanpa diminta, adapun untuk onani, perlu mengeluarkan air mani dalam keadaan si pelaku masturbasi dengan cara tertentu. Ibnu ‘Abidin berkata: Jika seseorang melakukan onani dengan penghalang yang mencegah panas, dia juga berdosa.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj dikatakan:
Artinya: “Dalam perkataan Imam As-Syarwany dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, Jika menyetubuhi seorang wanita dengan tujuan ejakulasi – walaupun dengan penghalang – maka onanilah yang membatalkan puasanya.
Namun sebaliknya, madzhab Syafi’i dan Maliki menyatakan bahwa onani terjadi melalui penglihatan, dan karena ejakulasi dengan onani terkadang berbeda dengan ejakulasi dengan cara lain, seperti hubungan seksual dan mimpi basah, maka pembahasan ini dipilih.”
3. Implikasi Hukum Istimna’
Dari beberapa sumber rujukan diatas, Istimna’ hukumnya menjadi tafshil. Ada ‘Ulama yang mengharamkan secara mutlak, memberikan status makruh tanzih, atau membolehkan dalam keadaan darurat.
Seorang suami atau istri melakukan istimna’ biyadi nafsihi itu diharamkan karena hal itu tidak termasuk katagori “Istimta’ Biz-Zauj/Zaujah”, (melakukan kesenangan seksual bersama pasangan yang halal).
Sedangakan penjelasan saya bahwa seorang suami atau istri melakukan istimna’ biyadiz-zauji itu dihalalkan karena hal itu termasuk katagori “Istimta’ Biz-Zauji” yang dihalakan.
Istimna’ Bi Yadi Nafsihi itu jika untuk meredam birahi yang sudah dominan, maka ada Ulama yang menghukumi boleh, dengan alasan darurat. Dan menurut Imam Ibnu Abidin dari madzhab Hanafi hukumnya malah wajib.
Artinya: “Imam Ibnu ‘Abidin menjelaskan dari madzhab Hanafi bahwa sesungguhnya istimna’ dapat menyelamatkan dari perbuatan zina, maka hukumnya wajib.
Istimna’ Bi Yadi Nafsihi yang dilakukan suami di depan istrinya atau dilakukan istri di depan suaminya melaui LDR atau VCS karena lama berpisah secara fisik, jika dianggap termasuk katagori “Istimta’ Biz-Zauj/Zaujah” dan karena alasan untuk menghindari maksiat zina, maka memungkinkan untuk diberi toleransi hukum “boleh” demi menjaga keutuhan rumah tangga.
Istimna’ Bi Yadi Nafsihi melalui LDR atau VCS yang terjadi antara lelaki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan pernikahan itu hukumnya jelas diharamkan karena termasuk katagori perzinaan.
Sumber referensi lain:
Artinya: Istimna’ itu ada kalanya dengan tangan atau selainnya, dengan cara mubasyaroh (langsung), dengan melihat atau dengan pikiran (menghayal).
Artinya: “Onani dengan tangan, jika hanya sekedar untuk memancing syahwat, maka haram secara umum, sebab Yang Maha Kuasa berfirman:
Maka Alloh Swt tidak memperbolehkan istimna’ kecuali dengan istri dan budak perempuannya, selain itu diharamkan.”
Artinya: “Menurut Qoul Mazhab Hanafi dan Syafi’i, serta Imam Ahmad bin Hambal: sesungguhnya istimna’ itu hukumnha makruh tanzih (makruh yang mendekati haram).”
Artinya: ‘Dan jika istimna’ dengan tangan untuk menenangkan syahwat yang memuncak dan menguasainya, yang dikhawatirkan akan terjadinya zina (jika tidak istimna’ biyadih). Maka hal tersebut diperbolehkan secara umum, bahkan dikatakan wajib, karena melakukannya pada saat itu seperti larangan yang dibolehkan. Karena terpaksa, dan seperti melakukan kejahatan yang lebih kecil. Dan dalam perkataan Imam Ahmad yang lain: ‘Istimna’ diharamkan dan jika dia takut berzina, karena dia mempunyai alternatif dalam berpuasa, demikian pula mimpi basah menghilangkan syahwat.’
Artinya: “Istimna’ biyadih tanpa farji istri mencakup segala kenikmatan – selain melihat dan berpikir – seperti hubungan seksual dengan selain farji, perut, atau paha, sentuhan, atau ciuman. Dan tidak ada ikhtilaf mengenai impliaksi hukum istimna’ biyadih menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Istimna’ hukumnya membatalkan puasa menurut madzhab Hanafi, tanpa ada kafarot (denda), dan tidak ada implikasi hukum pula terhadap ibadah haji dari perbuatan istimna’ di dalamnya.