Perspektif Islam tentang Fenomena Haji Berjalan Kaki dari Indonesia ke Mekkah - MAJELIS AKHWAT BERCADAR

Perspektif Islam tentang Fenomena Haji Berjalan Kaki dari Indonesia ke Mekkah

Perspektif Islam tentang Fenomena Haji Berjalan Kaki dari Indonesia ke Mekkah

Fenomena Jalan Kaki ke Mekkah

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena jemaah haji atau calon jemaah haji yang menempuh perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia menuju Mekkah telah menarik perhatian publik. Kisah-kisah perjuangan mereka sering kali dianggap sebagai bentuk pengorbanan dan ketaatan yang luar biasa terhadap perintah Allah SWT.

Namun, jika dikaji lebih dalam dari perspektif ajaran Islam, fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting tentang makna sebenarnya dari ibadah haji dan bagaimana seharusnya umat Muslim menunaikannya sesuai dengan tuntunan syariat.

Artikel ini akan mengkaji fenomena tersebut dari sudut pandang ajaran Islam, dengan merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an, hadits, dan pendapat para ulama untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep istitha'ah (kemampuan) dalam ibadah haji, prinsip kemudahan dalam Islam, dan kewajiban terhadap keluarga yang ditinggalkan.

Hakikat Ibadah Haji dalam Islam

Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi setiap Muslim yang mampu untuk menunaikannya sekali seumur hidup. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. Ali 'Imran [3]: 97)

Dalam ayat ini, Allah SWT dengan jelas menetapkan syarat "istitha'ah" (kemampuan) sebagai prasyarat wajibnya ibadah haji. Ini menunjukkan bahwa ibadah haji tidak dimaksudkan untuk membebani umat Muslim dengan kesulitan yang tidak mampu mereka tanggung.

Konsep Istitha'ah (Kemampuan) dalam Ibadah Haji

Para ulama telah menjelaskan bahwa istitha'ah mencakup beberapa aspek:

1. Kemampuan Fisik

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا السَّبِيلُ؟ قَالَ: الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ

"Dari Ibnu Abbas RA berkata: Nabi SAW ditanya tentang apa yang dimaksud dengan 'jalan' (dalam konteks ayat haji), beliau menjawab: 'Bekal dan kendaraan.'" (HR. Tirmidzi, Ad-Daraquthni, dan disahihkan oleh Al-Hakim)

Hadits ini menunjukkan bahwa kendaraan merupakan salah satu komponen istitha'ah, terutama bagi mereka yang jaraknya jauh dari Mekkah. Memaksakan diri untuk berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah, yang berjarak ribuan kilometer, melintasi berbagai negara dan kondisi geografis yang beragam, dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan seseorang.

2. Kemampuan Finansial

Seseorang yang menunaikan ibadah haji harus memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk:

  • Membiayai perjalanan pergi dan pulang
  • Biaya akomodasi dan kebutuhan selama di tanah suci
  • Menyediakan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan

Rasulullah SAW bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

"Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

3. Kemampuan Waktu

Ibadah haji memiliki waktu yang telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ

"(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi..." (QS. Al-Baqarah [2]: 197)

Perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Hal ini dapat menyebabkan seseorang tidak dapat sampai pada waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan ibadah haji, atau mungkin mengharuskan mereka meninggalkan keluarga dan tanggung jawab lainnya dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Prinsip Kemudahan dalam Islam

Islam adalah agama yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan menghindari kesulitan yang tidak perlu. Allah SWT berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Dan dalam ayat lain:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Ma'idah [5]: 6)

Rasulullah SAW juga menegaskan prinsip ini dalam haditsnya:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا

"Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Maka bersikaplah lurus, moderat, berilah kabar gembira, dan mintalah pertolongan (kepada Allah) pada pagi, sore, dan sebagian malam." (HR. Bukhari)

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

"Permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (dari agama)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil di atas, memaksakan diri untuk menempuh perjalanan haji dengan cara yang sangat mempersulit diri sendiri, sementara tersedia alternatif yang lebih mudah dan aman, tidak sesuai dengan prinsip kemudahan yang diajarkan dalam Islam.

Larangan Menyiksa Diri Sendiri dalam Islam

Islam melarang umatnya untuk menyiksa diri sendiri atau menjerumuskan diri dalam kesulitan yang tidak perlu. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Rasulullah SAW juga menekankan bahwa tubuh memiliki hak atas diri kita:

إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

"Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu." (HR. Bukhari)

Perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan seseorang, terutama mengingat jarak yang sangat jauh, kondisi geografis yang beragam, dan potensi bahaya di sepanjang rute. Ini dapat dianggap sebagai bentuk menjerumuskan diri dalam kebinasaan yang dilarang dalam Islam.

Kewajiban terhadap Keluarga yang Ditinggalkan

Islam menekankan pentingnya menunaikan kewajiban terhadap keluarga yang menjadi tanggungan. Rasulullah SAW bersabda:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

"Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian bersedekah untuknya. Jika ada kelebihan, maka untuk keluargamu. Jika ada kelebihan dari keluargamu, maka untuk kerabatmu. Jika ada kelebihan dari kerabatmu, maka begini dan begini." (HR. Muslim)

Dan dalam hadits lain:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku." (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Menempuh perjalanan haji dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah dapat memakan waktu yang sangat lama, sehingga berpotensi menelantarkan keluarga yang ditinggalkan. Ini bertentangan dengan kewajiban seorang Muslim untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap keluarga.

Prinsip Moderasi (Wasathiyyah) dalam Islam

Islam mengajarkan prinsip moderasi atau wasathiyyah dalam segala hal, termasuk dalam beribadah. Allah SWT berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan." (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Kata "wasathan" dalam ayat ini berarti tengah atau seimbang, yang menunjukkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk bersikap moderat, tidak berlebihan, dan tidak pula melalaikan.

Rasulullah SAW juga mengajarkan moderasi dalam beribadah, sebagaimana terlihat dalam hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا

"Dari Anas RA, dari Nabi SAW bersabda: 'Permudahlah dan jangan mempersulit, tenangkanlah dan jangan membuat orang lari (dari agama).'" (HR. Bukhari)

Dalam kisah lain, ketika Rasulullah SAW mendengar bahwa beberapa sahabat berjanji untuk shalat sepanjang malam, puasa setiap hari, dan tidak menikah, beliau menegur mereka dengan keras:

أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

"Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur, dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam beribadah, termasuk memaksakan diri untuk menempuh perjalanan haji dengan cara yang sangat menyulitkan, tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan prinsip moderasi.

Perspektif Ulama tentang Perjalanan Haji dengan Berjalan Kaki

Para ulama telah membahas masalah perjalanan haji dengan berjalan kaki dalam berbagai karya mereka. Berikut beberapa pandangan mereka:

  1. Imam Syafi'i dalam kitab "Al-Umm" menyatakan bahwa istitha'ah mencakup kemampuan untuk menyediakan bekal dan kendaraan, serta kemampuan fisik untuk melakukan perjalanan.
  2. Imam Nawawi dalam "Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab" menegaskan bahwa jika seseorang mampu secara finansial tetapi tidak mampu secara fisik untuk melakukan perjalanan, maka ia boleh mewakilkan hajinya kepada orang lain. Ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan kemampuan fisik dalam menunaikan ibadah haji.
  3. Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" menyebutkan bahwa jika perjalanan haji dapat membahayakan keselamatan atau kesehatan seseorang, maka ia tidak dianggap memiliki istitha'ah (kemampuan).
  4. Syekh Wahbah Al-Zuhaili dalam "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu" menjelaskan bahwa istitha'ah mencakup keamanan dalam perjalanan. Jika perjalanan haji dengan cara tertentu dapat membahayakan keselamatan, maka cara tersebut tidak dianjurkan.

Berdasarkan pandangan para ulama di atas, perjalanan haji dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah, yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan seseorang, tidak sesuai dengan konsep istitha'ah dalam ibadah haji.

Analisis Fenomena Haji Berjalan Kaki dari Indonesia ke Mekkah

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an, hadits, dan pendapat para ulama yang telah dikemukakan, kita dapat menganalisis fenomena haji dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah sebagai berikut:

1. Tidak Sesuai dengan Konsep Istitha'ah

Perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah membutuhkan waktu yang sangat lama dan energi yang sangat besar. Ini tidak sesuai dengan konsep istitha'ah yang ditekankan dalam Al-Qur'an dan hadits, yang mencakup kemampuan fisik, finansial, dan waktu.

2. Bertentangan dengan Prinsip Kemudahan dalam Islam

Islam adalah agama yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan menghindari kesulitan yang tidak perlu. Memaksakan diri untuk menempuh perjalanan haji dengan cara yang sangat menyulitkan, sementara tersedia alternatif yang lebih mudah dan aman, bertentangan dengan prinsip ini.

3. Berpotensi Membahayakan Keselamatan dan Kesehatan

Perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah melibatkan melintasi berbagai negara dengan kondisi geografis dan politik yang beragam. Ini dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan seseorang, yang bertentangan dengan larangan menjerumuskan diri dalam kebinasaan dalam Islam.

4. Berpotensi Menelantarkan Keluarga yang Ditinggalkan

Perjalanan yang memakan waktu sangat lama berpotensi menelantarkan keluarga yang ditinggalkan, yang bertentangan dengan kewajiban seorang Muslim untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap keluarga.

5. Tidak Sesuai dengan Prinsip Moderasi (Wasathiyyah) dalam Islam

Islam mengajarkan prinsip moderasi dalam segala hal, termasuk dalam beribadah. Sikap berlebih-lebihan dalam beribadah, termasuk memaksakan diri untuk menempuh perjalanan haji dengan cara yang sangat menyulitkan, tidak sesuai dengan prinsip ini.

Kesalahan Persepsi tentang Nilai Pengorbanan dalam Ibadah

Fenomena haji dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah sering kali dikaitkan dengan nilai pengorbanan yang tinggi dalam beribadah. Namun, perlu dipahami bahwa dalam Islam, nilai suatu ibadah tidak diukur dari tingkat kesulitan atau pengorbanan yang dilakukan, melainkan dari ketaatan kepada Allah SWT dan keikhlasan dalam beribadah.

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa nilai suatu ibadah tergantung pada niat dan keikhlasan, bukan pada tingkat kesulitan atau pengorbanan yang dilakukan. Memaksakan diri untuk menempuh perjalanan haji dengan cara yang sangat menyulitkan, dengan niat untuk menunjukkan pengorbanan yang tinggi, tidak sesuai dengan spirit hadits ini.

Kesimpulan

Berdasarkan kajian terhadap dalil-dalil Al-Qur'an, hadits, dan pendapat para ulama, dapat disimpulkan bahwa fenomena haji dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Indonesia ke Mekkah tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan prinsip kemudahan, moderasi, dan kewajiban terhadap keluarga. Perjalanan semacam itu juga berpotensi membahayakan keselamatan dan kesehatan seseorang, yang bertentangan dengan larangan menjerumuskan diri dalam kebinasaan dalam Islam.

Ibadah haji, seperti ibadah lainnya dalam Islam, harus dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat, dengan mempertimbangkan kemampuan fisik, finansial, dan waktu, serta kewajiban terhadap keluarga dan diri sendiri. Memaksakan diri untuk menempuh perjalanan haji dengan cara yang sangat menyulitkan, sementara tersedia alternatif yang lebih mudah dan aman, tidak sesuai dengan spirit ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Allah SWT berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Ayat ini dan dalil-dalil lain yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan menghindari kesulitan yang tidak perlu. Ibadah haji, sebagai salah satu rukun Islam, harus dilakukan dengan semangat ini, dengan mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan tanggung jawab terhadap keluarga dan diri sendiri.

Rekomendasi

Bagi umat Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji, disarankan untuk:

  1. Memastikan telah memenuhi syarat istitha'ah (kemampuan) secara fisik, finansial, dan waktu.
  2. Mengutamakan cara yang paling aman dan efisien dalam melakukan perjalanan haji.
  3. Memastikan bahwa keluarga yang ditinggalkan tercukupi kebutuhannya selama menunaikan ibadah haji.
  4. Fokus pada kualitas ibadah dan keikhlasan, bukan pada tingkat kesulitan atau pengorbanan yang dilakukan.
  5. Mengikuti bimbingan dan arahan dari pihak yang berwenang dalam urusan haji, seperti Kementerian Agama atau lembaga yang ditunjuk secara resmi.

Dengan demikian, ibadah haji dapat dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat, dengan mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan tanggung jawab terhadap keluarga dan diri sendiri, serta mencapai tujuan utamanya, yaitu mendapatkan ridha Allah SWT dan menyempurnakan rukun Islam.

Wallahu a'lam bi ash-shawab (Allah yang Maha Mengetahui yang benar).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url