SYARAH HADITS: ALLAH TURUN KELANGIT DUNIA
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Dalam Al-Qur'an QS Thoha ayat 5 disebutkan bahwa Allah beristiwa diatas Arsy , diatas langit ke 7.
Dalam Al-Qur'an QS Al-Baqarah ayat 186 disebutkan bahwa jika ada seorang hamba bertanya tentang Allah, maka Rosulullah diperintahkan untuk menjawab bahwa Allah itu dekat , sedangkan manusia ada dibumi.
Dalam QS Al-Baqarah ayat 115 disebutkan bahwa kemana saja manusia menghadap (shalat) disitulah wajah Allah.
Jadi Allah itu ada di langit atau ada dibumi dekat dengan manusia atau dika'bah atau dimana saja ? QS Thoha ayat 5 vs QS Al-Baqarah ayat 186 vs QS Al-Baqarah ayat 115 , kuat mana ?
Ya tentu saja sesama firman Allah tidak bisa dikuatkan salah satu dan tidak bisa dilemahkan salah satu.
Belum selesai kesimpulan pemaknaan kedua ayat ini , muncul lagi hadits dalam Shahih Bukhari bahwa Allah juga turun ke langit dunia , yaitu langit pertama.
Sehingga haram bagi umat muslim untuk menguatkan satu ayat atas ayat lain , karena jika salah satu dikuatkan , konsekwensinya yang lain akan dianggap lebih lemah. Inilah yang dapat merusak aqidah bahkan mengakibatkan menjatuhkan diri pada beriman di sebagian ayat dan kufur di sebagian ayat.
Sehingga ayat ayat mutasyabihat dan hadits ini biarkan apa adanya , dan tidak perlu memikirkan keberadaan dzat Allah ada dimana.
Rasulullah ﷺ bersabda :
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Rabb Tabaraka wa Ta'ala kita turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman, "Siapa yang berdoa kepada-Ku pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepada-Ku pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku pasti Aku ampuni"
(HR Bukhari nomor 1145)
Alhafidz Ibnu Hajar menjelaskan :
قوله : ( ينزل ربنا إلى السماء الدنيا ) استدل به من أثبت الجهة ، وقال : هي جهة العلو ، وأنكر ذلك الجمهور لأن القول بذلك يفضي إلى التحيز ، تعالى الله عن ذلك . وقد اختلف في معنى النزول على أقوال : فمنهم من حمله على ظاهره وحقيقته ، وهم المشبهة ، تعالى الله عن قولهم . ومنهم من أنكر صحة الأحاديث الواردة في ذلك جملة ، وهم الخوارج ، والمعتزلة ، وهو مكابرة ، والعجب أنهم أولوا ما في القرآن من نحو ذلك ، وأنكروا ما في الحديث ، إما جهلا ، وإما عنادا ، ومنهم من أجراه على ما ورد مؤمنا به على طريق الإجمال منزها الله تعالى عن الكيفية والتشبيه ، وهم جمهور السلف ، ونقله البيهقي وغيره عن الأئمة الأربعة ، والسفيانين ، والحمادين ، والأوزاعي ، والليث ، وغيرهم ، ومنهم من أوله على وجه يليق ، مستعمل في كلام العرب ، ومنهم من أفرط في التأويل ، حتى كاد أن يخرج إلى نوع من التحريف ، ومنهم من فصل بين ما يكون تأويله قريبا مستعملا في كلام العرب ، وبين ما يكون بعيدا مهجورا ، فأول في بعض ، وفوض في بعض ، وهو منقول عن مالك ، وجزم به من المتأخرين ابن دقيق العيد ، قال البيهقي : وأسلمها الإيمان بلا كيف ، والسكوت عن المراد إلا أن يرد ذلك عن الصادق ، فيصار إليه . من الدليل على ذلك اتفاقهم على أن التأويل المعين غير واجب ، فحينئذ التفويض أسلم . وسيأتي مزيد بسط في ذلك في كتاب التوحيد ، إن شاء الله تعالى . وقال ابن العربي : حكي عن المبتدعة رد هذه الأحاديث ، وعن السلف إمرارها ، وعن قوم تأويلها ، وبه أقول . فأما قوله : ينزل فهو راجع إلى أفعاله لا إلى ذاته ، بل ذلك عبارة عن ملكه الذي ينزل بأمره ونهيه ، والنزول كما يكون في الأجسام يكون في المعاني ، فإن حملته في الحديث على الحسي فتلك صفة الملك المبعوث بذلك ، وإن حملته على المعنوي ، بمعنى أنه لم يفعل ثم فعل ، فيسمى ذلك نزولا عن مرتبة إلى مرتبة ، فهي عربية صحيحة . انتهى . والحاصل أنه تأوله بوجهين : إما بأن المعنى ينزل أمره أو الملك بأمره ، وإما بأنه استعارة بمعنى التلطف بالداعين والإجابة لهم ونحوه . وقد حكى أبو بكر بن فورك أن بعض المشايخ ضبطه بضم أوله على حذف المفعول أي ينزل ملكا ، ويقويه ما رواه النسائي من طريق الأغر ، عن أبي هريرة وأبي سعيد بلفظ : إن الله يمهل ، حتى يمضي شطر الليل ، ثم يأمر مناديا يقول : هل من داع فيستجاب له . الحديث . وفي حديث عثمان بن أبي العاص : ينادي مناد : هل من داع يستجاب له . الحديث . قال القرطبي : وبهذا يرتفع الإشكال ، ولا يعكر عليه ما في رواية رفاعة الجهني : ينزل الله إلى السماء الدنيا ، فيقول : لا أسأل عن عبادي غيري . لأنه ليس في ذلك ما يدفع التأويل المذكور . وقال البيضاوي : ولما ثبت بالقواطع أنه سبحانه منزه عن الجسمية والتحيز امتنع عليه النزول على معنى الانتقال من موضع إلى موضع أخفض منه ، فالمراد نور رحمته ، أي ينتقل من مقتضى صفة الجلال التي تقتضي الغضب والانتقام إلى مقتضى صفة الإكرام التي تقتضي الرأفة والرحمة .
Sabda Nabi:
(Tuhan kita turun ke langit dunia).
Hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang menetapkan adanya jihah (arah) bagi
Allah. Mereka mengatakan, bahwa arah tempat Allah berada , adalah di atas.
Namun pandangan ini diingkari oleh jumhur ulama, karena pendapat seperti itu berkonsekuensi menempatkan Allah pada ruang tertentu.
Setelah itu, para ulama berbeda pendapat mengenai makna turunnya Allah, Di antara mereka ada yang memahami
sebagaimana makna lahiriah dan hakikat kata turun.
Mereka inilah golongan Musyabbihah (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), Maha Suci Allah dari perkataan mereka.
Sebagian lagi mengingkari keakuratan hadits-hadits yang disebutkan mengenai
hal itu, mereka inilah golongan Khawarij dan Mu'tazilah dimana sikap mereka ini termasuk keangkuhan.
Yang mengherankan, mereka menakwilkan lafazh-lafazh seperti itu dalam Al Qur'an dan mengingkarinya dalam hadits, baik karena kebodohan atau keangkuhan.
Ada pula yang memahami turunnya Allah sebagaimana adanya, mengimani dan menyucikan Allah dari kaifiyat (hakikat) dan tasybih (menyamakan dengan makhluk), mereka adalah jumhur ulama salaf.
Pendapat ini telah dinukil oleh Al Baihaqi dan selainnya dari Imam yang empat (Malik, Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal), Sufyan bin Uyainah dan Sufyan Ats-Tsauri, Hammadain , Al Auza'i, Al Laits dan selain mereka.
Lalu ada pula yang menakwilkan turunnya Allah sesuai dengan makna yang dipakai dalam bahasa Arab, namun di antara mereka ada yang berlebihan dalam hal itu hingga masuk jenis tahrif (merubah makna).
Kemudian sebagian membedakan antara
penakwilan yang masih terpakai dalam bahasa Arab dengan penakwilan yang jauh dan tidak dikenal dalam bahasa Arab.
Oleh sebab itu, mereka menakwilkan sebagian lafazh dan menyerahkan
makna sebagiannya kepada Allah.
Pandangan terakhir ini diriwayatkan dari Malik, lalu diikuti oleh Ibnu Daqiq Al Id.
Imam Al Baihaqi berkata :
"Pendapat paling selamat adalah beriman kepadanya tanpa mencari hakikat serta maksudnya, kecuali Rasulullah telah menerangkannya, maka itulah yang dijadikan pegangan. Hal itu berdasarkan kesepakatan ulama yang tidak mewajibkan takwil tertentu, dan menyerahkan maknanya kepada
Allah adalah lebih selamat."
Keterangan lebih mendalam akan
dijelaskan dalam pembahasan tentang tauhid.
Ibnu Al Arabi berkata :
Telah dinukil bahwa ahli bid'ah menolak hadits-hadits yang berhubungan dengan turunnya Allah, dan golongan salaf memahami sebagaimana adanya. Lalu sebagian kaum menakwilkannya, dan inilah pendapat yang saya pegang. Adapun kata 'turun' kembali kepada perbuatan Allah dan bukan termasuk dzat-Nya. Bahkan, itu adalah ungkapan tentang malaikat- Nya yang turun membawa perintah dan larangan.
Kata 'turun' selain berlaku dalam materi, juga berlaku dalam maknawi.
- Apabila engkau memahami hadits dalam konteks materi, maka yang demikian itu merupakan sifat malaikat yang diutus membawa perintah dan larangan.
- Adapun jika engkau memahaminya dalam konteks maknawi, maka maknanya adalah sebelumnya ia tidak melakukan lalu melakukannya, maka yang demikian itu dinamakan 'turun' dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya.
Ini merupakan bahasa Arab yang
benar."
Ringkasnya, Ibnu Al Arabi telah menakwilkan kata "turunnya Allah" dengan dua sisi; bisa saja bermakna perintah- Nya turun atau malaikat turun dengan membawa perintah-Nya, dan bisa juga kata itu adalah isti'arah (penggunaan kalimat yang tidak dalam arti yang sebenarnya) untuk mengungkapkan sikap lembut terhadap orang-orang yang berdoa serta mengabulkan permohonan mereka.
Abu Bakar bin Faurak meriwayatkan dari sebagian syaikh bahwa kata yanzilu (turun) sebenarnya adalah yunzilu (diturunkan), yakni malaikat diturunkan.
Pendapat ini didukung oleh riwayat An-Nasa'i melalui jalur Al Aghar dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id dengan lafazh :
(sesungguhnya Allah menangguhkan hingga berlalu separuh malam, kemudian
Dia memerintahkan penyeru untuk mengatakan, "Adakah yang berdoa maka akan dikabulkan permohonannya.)
Dalam hadits Utsman bin Abi Al Ash disebutkan :
(Penyeru menyerukan, "Adakah yang berdoa agar dikabulkan untuknya)
Imam Al Qurthubi berkata :
berdasarkan riwayat-riwayat ini, maka selesailah persoalan yang ada dan ia tidak dapat dipertentangkan dengan riwayat Rifa'ah Al Juhani :
(Allah turun ke langit dunia dan
berfirman, "Tidak ada yang bertanya tentang hamba-hamba-ku selain Aku.").
Sebab, dalam riwayat ini tidak ada yang menolak takwil di atas.
Al Baidhawi berkata :
Setelah jelas berdasarkan nash-nash
qath'i (pasti) bahwa Allah tidak sama dengan materi dan ruang, serta
tidak mungkin Dia 'turun' dalam arti berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lebih rendah darinya, maka yang dimaksud dengan ''turunnya Allah" adalah turunnya cahaya rahmat-Nya, yakni berpindah dari sifat keagungan yang berkonsekuensi kemurkaan dan kemarahan kepada sifat kemurahan yang berkonsekuensi kelembutan dan kasih sayang."
(Fathul bari Syarah shahih Bukhari lll /36 - 37)